Selasa, 13 Mei 2008

investasi

Menunda Kesenangan Demi investasi

Belajar investasiRekan Netters,
Saya hendak membahas mengenai salah satu penelitian menarik yang dilakukan di luar negeri. Dalam penelitian ini, dikumpulkanlah sejumlah anak kecil ke dalam satu ruangan. Setiap anak ditawarkan sebuah permen cokelat dan diberikan dua buah pilihan. Sang anak boleh langsung memakan permen cokelat tersebut atau menunggu selama 30 menit. Bagi yang bersedia menunggu hingga 30 menit akan diberikan dua buah permen cokelat.Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian anak bersedia menunggu untuk mendapatkan dua buah permen cokelat.

Kemudian penelitian dilanjutkan pada 30 tahun selanjutnya untuk melihat situasi anak-anak yang langsung memakan permen cokelat tersebut atau menunggu 30 menit. Ternyata, yang menarik disini adalah anak-anak yang bersedia menunggu memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik. Mereka lulus dengan nilai yang lebih tinggi, menjadi karyawan yang lebih baik, ataupun menjadi pengusaha yang lebih sukses.

Yang perlu diperhatikan dari penelitian ini adalah kemampuan dari anak-anak untuk menunda kesenangan mereka. Kita semua tahu anak-anak pasti suka permen cokelat. Disini mereka harus menahan keinginan mereka untuk memakan permen tersebut selama 30 menit untuk mendapatkan satu buah permen tambahan.

Bagaimana dengan Anda?

Katakanlah Anda mendapatkan rejeki, seperti bonus akhir tahun, sebesar 10 juta rupiah. Apa yang akan Anda lakukan?

Apakah Anda langsung berbelanja dan menghabiskan seluruh 10 juta rupiah itu?

Atau Anda dapat menahan kesenangan, dan menginvestasikan 10 juta rupiah tersebut? Katakanlah dana tersebut ditaruh ke reksa dana saham dengan rata-rata return 18% per tahun. Uang tersebut akan menjadi 20 juta rupiah dalam waktu 4 tahun.

Disini kemampuan menunda kesenangan akan berpengaruh besar. Apabila Anda tidak dapat menahan keinginan untuk berbelanja, maka dalam bulan itu juga seluruh uang tersebut akan habis. Bahkan orang cenderung berbelanja lebih banyak daripada yang dia dapatkan.

Perlu diingat bahwa dalam pengelolaan keuangan pribadi yang benar, kita harus menyimpan minimal 10% dari seluruh uang yang kita dapatkan untuk ditabung atau diinvestasikan. Dalam kasus diatas, kita harus dapat menyisihkan minimal satu juta rupiah untuk ditabung.

Jadi, sebelum kita berbelanja, pisahkanlah antara apa saja yang termasuk kebutuhan, dan apa saja yang termasuk keinginan. Kita boleh membeli barang-barang yang memang kita butuhkan. Namun sebisa mungkin tundalah pembelian barang-barang yang hanya untuk kesenangan. Dengan demikian maka kita bisa mendapatkan lebih banyak uang yang bisa kita investasikan.

Ada banyak cara melakukan investasi jangka panjang (bukan HYIP, bukan money game), diantaranya adalah melalui unitlink di equity (pasar modal). Agar hasilnya memuaskan maka saya pribadi memilih perusahaan yang memiliki kredibilitas tinggi mengelola investasi selama 2 abad (lebih dari 200 tahun menurut majalah Smart Investor) misalnya seperti SCHRODERS bisa dilihat juga di web resminya www.schroders.com, namun karena membutuhkan dana yang besar saya memutuskan melalui unitlink dari SequisLife yang bekerjasama dengan Schroders sebagai pengelola investasinya, hasilnya bisa dipantau secara transparan di majalah kompas, kontan dan harian bisnis setiap hari.

Bagi anda yang memiliki dana terbatas, namun SANGAT INGIN merencanakan finansial anda dihari tua yang dikelola profesional oleh kombinasi kerjasama terbaik : SequisLife + Schroders + Deutsche Bank, bisa hubungi saya via email di : konsultasi@swissinvestor.biz saya juga menyediakan simulasi hasil investasi yang saya berikan gratis sesuai data pribadi anda/untuk anak/keluarga anda.

bursa efek

Bursa Efek Jakarta

Bursa Efek Jakarta adalah salah satu bursa saham yang dapat memberikan peluang investasi dan sumber pembiayaan dalam upaya mendukung pembangunan Ekonomi Nasional. Bursa Efek Jakarta berperan juga dalam upaya mengembangkan pemodal lokal yang besar dan solid untuk menciptakan Pasar Modal Indonesia yang stabil.

Panduan Untuk Mengenal Pasar Modal



Pasar Modal adalah wahana untuk mempertemukan pihak-pihak yang memerlukan dana jangka panjang dengan pihak yang memiliki dana tersebut.

Fungsi Pasar Modal antara lain sebagai berikut:

* Sumber dana jangka panjang
* Alternatif investasi
* Alat restrukturisasi modal perusahaan
* Alat untuk melakukan divestasi

Penawaran Umum atau tender offer adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten (perusahaan) untuk menjual Efek tersebut kepada masyarakat.

1. Proses Penawaran Umum
* Pasar Perdana
* Penawaran Efek oleh Sindikasi Penjamin Emisi Dan Agen Penjualan
* Penjatahan
* Penyerahan Efek
2. Pasat Sekunder
* Emiten mencatatkan sahamnya di Bursa
* Perdagangan Efek di Bursa

Perbedaan Pasar Perdana dan Pasar Sekunder :

1. Pasar Perdana
* Harga saham tetap
* Tidak dikenakan komisi
* Hanya untuk pembelian saham
* Pemesanan dilakukan melalui Agen Penjual
* Jangka waktu terbatas
2. Pasar Sekunder
* Harga berfluktuasi sesuai kekuatan pasar
* Dibebankan komisi untuk pembelian maupun penjualan
* Pemesanan dilakukan melalui Anggota Bursa
* Jangka waktu tidak terbatas

Ada dua jenis pasar di Pasar Modal :

1. Pasar Perdana (Primary Market/Penawaran Umum/Initial Publik Offering(IPO))
2. Pasar Sekunder (Secondary Market)

Perdagangan

Sistem perdagangan di BEJ menggunakan sistem komputerisasi yang dikenal dengan nama JATS (Jakarta Automated Trading System) dalam menciptakan perdagangan yang fair, transparan, efisien dan pasar yang efektif bagi para investor.
Perdagangan di BEJ didasarkan pada sistem order. Investor harus menghubungi perusahaan sekuritas. Perusahaan sekuritas kemudian menjalankan ordermereka. Sebuah perusahaan sekuritas mungkin juga membeli atau menjual saham dengan menggunakan nama mereka sebagai bagian dari portofolio mereka.
Perusahaan sekuritas yang mendaftarkan sebagai Anggota Bursa menunjuk wakilnya untuk melaksanakan order tersebut. Petugas yang bertugas di lantai bursa disebut JATS trader dan yang bertugas di kantor disebut sebagai petugas pengesah order dan transaksi (order and Trading Authorizers). Mereka terdaftar di bursa.
Dengan menggunakan JATS, order diproses oleh komputer dengan mempertemukan order beli dan jual berdasarkan prioritas harga dan waktu. Sistem lelang terbuka tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan selama jam perdagangan (sistem lelang berkesinambungan).
Untuk membatasi pergerakan saham, sejak tanggal 3 Desember 2001 (SE-009/BEJ/12-2001), BEJ telah menerapkan sistem Auto Rejection. Sistem ini akan secara otomatis menolak order beli dan jual jika fluktuasi harga telah mencapai suatu level tertentu.

* Penentuan presentase Auto Rejection didasarkan pada 5 kelompok harga berdasarkan harga previous di pasar reguler


Harga previous di pasar reguler (Rp) Auto Rejection
Kondisi normal Corporate Action (4hari)
5 - 100 50% dari harga previous di pasar reguler 50%dari harga previous di setiap pasar
> 100 - 500 35% 35%
> 500 - 2.500 30% 30%
> 2.500 - 5.000 25% 25%
> 5.000 20% 20%

* Pada kondisi terjadi Corporate Action selama 3 hari setelah cum di pasar reguler, Auto Rejection mengacu pada harga previous di setiap pasar
* Untuk saham IPO, persentase Auto Rejection dua kali persentase pada kondisi normal
* Auto Rejection tidak berlaku pada produk derivatif (waran dan right)
* Pada kondisi normal untuk order pertama, pergerakan harga maksimum mengacu pada harga previous di pasar reguler

Perdagangan saham di Pasar Regular dan Pasar Tunai didasarkan pada jumlah lot dan waktu yang diselenggarakan berdasarkan proses tawat menawar yang dilakukan secara lelang yang berkesinambungan (continous auction market mechanism). Harga yang dihasilkan dari order pada pasar lelang seperti yang digambarkan pada tabel doatas adalah merupakan dasar dari pasar reguler. Pasar reguler kemudian digunakan untuk menghitung indeks. Harga yang terbentuk di pasar reguler juga digunakan sebagai harga quote di BEJ, yang disebarluaskan ke mancanegara.

Perdagangan di pasar reguler dimulai dengan sesi Pre-Opening pada setiap hari perdagangan. Sesi tersebut membolehkan AB untuk memasukkan order jual dan beli untuk membentuk harga Pre-Opening. Sistem Pre-Opening diluncurkan mulai tanggal 3 Februari 2004. Pada tahap awal, prioritas diberikan pada saham-saham

Jadwal Sesi Pre-Opening adalah sebagai berikut :

09:10:00 - 09:25:00 AB memasukkan order jual dan beli
09:25:01 - 09:29:59 JATS melakukan proses penetapan harga Pre-Opening dan pengalokasian transaksi

Perdagangan Pre-Opening

* Hanya berlaku untuk pasar reguler
* Tawar-menawar didasarkan pada harga previous atau harga penawaran
* Sistem Atuo Rejection untuk sesi 1 & II didasarkan pada harga pembukaaan bukan (previous price)
* Bila harga pembukaan terbentuk :
o Harga pembukaan pada Securities Window tidak sama dengan 0
o Auto Rejection untuk sesi I & II didasarkan pada harga pembukaan bukan (previous price)
o Order Pre-Opening yang tidak teralokasikan dan diluar batas Auto Rejection, secara otomatis akan dikeluarkan oleh JATS (lihat diagram Auto Rejection)
* Bila Harga pembukaan tidak terbentuk :
o Harga pembukaan pada Securities Window sama dengan 0
o Auto Rejection untuk sesi I & II didasarkan pada harga previous
o Status order akan tetap terbuka dan akan diteruskan ke sesi perdagangan I.

Persyaratan Transaksi di Pasar Reguler

Investor diminta untuk memenuhi kondisi sebagai berikut untuk bertransaksi di pasar reguler :

* Jumlah saham, waran, right berdasarkan standar lot 500 untuk saham/waran/right
* Pergerakan harga antar order :
o Saham

Harga Maksimum Perubahan Fraksi
<500 Rp 50 Rp 5
Rp 1000 - Rp 2000 Rp 100 Rp 10
Rp 2000 - Rp 5000 Rp 250 Rp 25
> Rp 5000 Rp 500 Rp 50

o Right

Harga Maksimum Perubahan Fraksi
< 100 Rp 10 Rp 1
Rp 100 - Rp 500 - Rp 2000 - ≥Rp 5000 Rp 500 Rp 50

o Waran

Harga Maksimum Perubahan Fraksi
< 100 Rp 10 Rp 1
Rp 100 - Rp 500 - Rp 2000 - ≥Rp 5000 Rp 500 Rp 50

Pasar Negosiasi

BEJ juga mengakomodir perdagangan saham didasarkan atas negosiasi antara pihak pembeli dan penjual. Perdagangan saham di pasar negosiasi dilaksanakan melalui proses tawar-menawar secara individu (negosiasi langsung) antar AB atau nasabah melalui satu AB atau antara satu nasabah dengan AB atau antara AB dengan KPEI yang bagaimanapun juga persetujuan tawar-menawarnya harus diproses melalui JATS

Peraturan untuk kedua pasar tersebut adalah sebagai berikut :

1. Saham yang diperdagangkan menggunakan satuan unit saham
2. Fraksi harga tidak dapat dipakai, tetapi direkomendasikan sebagai dasar transaksi harga saham di pasar reguler
3. Harga didasarkan pada kesepakatan
4. Transaksi yang dipertemukan tidak mempengaruhi perhitungan indeks seperti yang mereka lakukan di pasar reguler
5. Tanggal Penyelesaian didasarkan pada perstujuan antara pihak penjual dan pembeli. Jika tidak terjadi persetujuan maka mengikuti aturan T + 3

Penyelesaian

Ketika satu transaksi terjadi, penyerahan dan pembayaran harus diselesaikan melalui PT KPEI dan PT PSEI.

* Transaksi reguler untuk saham dan waran diselesaikan pada hari ke 3 (T+3) setelah terjadinya transaksi dan harus dijamin oleh KPEI
* Transajsi di Pasar tunai untuk saham, waran dan right diselesaikan pada hari yang sama dengan terjadinya transsaksi (T+0) dan harus dijamin oleh KPEI
* Transaksi di pasar negosiasi untuk saham, waran, right dan obligasi harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian antara pihak penjual dan pembeli, dan transaksi tidak dijamin oleh KPEI

Jakarta Automated Trading System (JATS)

JATS telah diberlakukan sejak tanggal 22 Mei 1995. JSX menyediakan 444 terminal komputer untuk perdagangan saham di lantai bursa di lanai bursa ( di Lt. Ground, Gd. BEJ). Terminal ini dikenal dengan istilah Trader Workstation atau booth yang dihubungkan secara langsung dengan mesin perdagangan melalui JSX Network.

Fase implementasi JATS lebih difokuskan pada perubahan darisistem manual ke sistem komputerisasi. Implementasi JATS dapat dibagi kedalam beberapa tahap :

1. Integrasi antara sistem perdagangan tanpa warkat dengan sistem kliring dan penjaminan PT KPEI
2. Peluncuran sistem Remote Trading,dimana AB dapat mengakses JATS secara langsung dari kantor mereka masing-masing melalui JONES bila ditinjau dari sisi BEJ (Jakarta Stock Exchange Open Network Environment Client), dan JONES bila di tinjau dari sisi BEJ (Jakarta Stock Exchange Open Network Environtment Server)

Transaksi Margin

BEJ telah menerapkan peraturan Transaksi Margin sejak tanggal 1 Agustus 1997, yaitu dalam Peraturan No II-9 :

1. Transaksi margin adalah transaksi bursa yang dilakukan oleh Anggota Bursa Efek untuk kepentingan nasabahnya yang penyelesaian transaksinya dibiayai oleh Anggota Bursa Efek tersebut.
2. Anggota bursa Efek yang akan melakukan Transaksi Margin untuk pertama kalinya wajib menyamaikan ke Bursa dokumen sebagai berikut :
* Surat pernyataan dari Anggota Bursa Efek yang membuktikan bahwa yang bersangkutan memilike Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) sekurang-kurangnya sebesar Rp 5 milyar, dan dilapiri dengan laporan kompiliasi MKBD bulanan;
* Surat pernyataan dari Akuntan yang terdafatar di Bapepam yang ditunjuk oleh Anggota Bursa Efek, yang menyatakan bahwa Akuntan tersebut telah memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan sistem operasional Anggota Bursa Efek serta menyatakan bahwa Anggota Bursa Efek serta menyatakan bahwa Anggota Bursa Efek dimaksud telah sepenuhnya memenuhi seluruh ketentuan Peraturan Bapepam No. V.D.3 tentang Pengendalian Interen dan Penyelenggaraan Pembukuan oleh Perusahaan Efek;
* Contoh kontrak margin antara Anggota Bursa Efek dengan nasabah;
3. Bursa akan mengumumkan nama-nama Anggota Bursa Efek yang memenuhi persyaratan untuk melakukan transaksi margin di bursa.
4. Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam butir 3 di atas, wajib memberikan laporan ke Bursa mengenai posisi MKBD hai bursa sebelumnya, sekurang-kurangnya 30 menit sebelum dimulainya perdagangan pada hari bursa yang bersangkutan.
5. Anggota Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam butir 3 di atas, dilarang melakukan Transaksi Margin untuk kepeningan 1 nasabahnya dimana Transaksi Margin tersebut dapat mengakibatkan saldo debit dan atau posisi short melebihi 20% dari MKBD Anggota Bursa Efek dimaksud, dengan ketentuan bahwa jumlah seluruh nilai Transaksi Margin yang dapet dilakukan oleh Anggota Bursa Efek maksimum 10 kali nilai MKBD dari Anggota Bursa Efek bersangkutan.
6. Anggota Bursa Efek dilarang melakukan Transaksi Margin untuk kepentingan Direksi, Komisaris, Pemegang Saham Utama dan atau pegawai dari Anggota Bursa Efek tersebut.
7. Transaksi Margin baru dapat dilakukan oleh Anggota Bursa Efek setelah nasabah Anggota Bursa Efek tersebut membuka Rekening Efek Margin pada Anggota Bursa Efek berdasarkan kontrak margin antara nasabah dan Anggota Bursa Efek yang bersangkutan.
8. Kontrak margin sebagaimana dimaksud dalam butir 7 di atas, sekurang-kurangnya memuat :
* hak dan kewajiban nasabah dan Anggota Bursa Efek termasuk pemberian jaminan, biaya, komisi dan bunga;
* teknis pelaksanaan (mekanisme) penggunaan Fasilitas Transaksi Margin;
* pengakhiran kontrak margin baik yang disebabkan karena nasabah atau Anggota Bursa Efek dalam Rekening Efek Margin tidak memenuhi syarat lagi atau karena hal-hal lain yang disepakati nasabah dan Anggota Bursa Efek.
9. Pelanggaran atas Peraturan ini dapat dikenakan sanksi oleh Bursa.

Menunjuk Keputusan Ketua Bapepam (Kep-09/PM/1997), persyaratan daftar efek yang memenuhi syarat untuk ditransaksikan secara Margin adalah sebagai berikut :

1. Tercatat di Bursa Efek;
2. Diperdagangkan setiap hari bursa untuk periode 6 (enam) bulan terakhir dengan nilai rata-rata per hari sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 )satu miliar rupiah); dan
3. Dimiliki oleh lebih dari 4000 (empat ribu) Pihak untuk 6 (enam) bulan terakhir jika transaksi dimaksud mengakibatkan Posisi Short.

Komisi dan Biaya Transaksi

Anggota Bursa memungut imbalan jasa yang sesarnya ditentuan berdasarkan kesepakatan dengan nasabahnya, setinggi-tingginya 1% untuk setiap transaksi jual dan beli. Dalam melakukan transaksi di Bursa Efek Jakarta maka Anggota Bursa wajib membayar biaya transaksi dari nilai kumulatif transaksi perbulan yang ditetapkan sebagai berikut :

* Anggota Bursa Efek harus membayar biaya transaksi ke Bursa, KPEI dan KSEI yang dihitung berdasarkan nilai setiap transaksi yang dilaksanakan oleh Anggota Bursa Efek tersebut, dengan perhitungan sebagai berikut :
o 0,03% dari nilai setiap transaksi, untuk biaya transaksi , kliring dan penyelesaian di pasar reguler dan pasar tunai
o 0,03% dari nilai setiap transaksi, mengacu pada kebijakan bursa untuk transaksi di pasar negosiasi.
o komisi transaksi kepada bursa sekurang-kurangnya Rp 2 juta per bulan sebagai kontribusi atas penggunaan fasilitas bursa.
o Untuk transaksi obligasi, biaya transaksi adalah sebesar 0,01% dari nilai per transaksi
* Anggota Bursa Efek harus menyerahkan deposit sebesar 0,005% dari nilai per transaksi untuk dijaminkan kepada KPEI Dana jaminan sebesar 0,01% tersebut dikelola oleh KPEI.
* Komisi dan biaya transaksi tidak termasuk PPN 10%; 0,1% pajak dan kumulatif nilai transaksi penjuaan (hanya untuk saham).

Jadwal Perdagangan

Aktivitas perdagangan di BEJ dilaksanakan pada hari bursa . Jadwal transaksi harian adalah sebagai berikut

Senin - Kamis Sesi I 09:30 - 12:00 waktu JATS
Sesi II 13:30 - 16:00 waktu JATS
Jum'at Sesi I 09:30 - 11:30 waktu JATS
Sesi II 14:00 - 16:00 waktu JATS

Pre- Opening untuk pasar reguler dilaksanakansetiap hari bursa, yaitu :

Senin - Jum'at masukan order 09:10:00 - 09:25:00 waktu JATS
JATS memproses pengalokasian transaksi 09:25:01 - 09:29:59 waktu JATS

Jadwal Perdagangan untuk Pasar Tunai (berlaku sejak tanggal 25 Juli 2000) :

Senin - Kamis Sesi I 09:30 - 12:00 waktu JATS
Jum'at Sesi I 09:30 - 11:30 waktu JATS

Keterlibatan Investor Asing

BEJ membuat sebuah survey yang detail tentang sifat pasar terutama ditujukan dalam rangka mengetahui profil investor BEJ yang akurat. Bagaimana juga, dari hasil survey tersebut dapat disimpulkan secara jelas bahwa BEJ mamilki daya tarij yang patut diperhitungkan oleh investor asing, oleh karena itu rata-rata 70% dari transaksi dilakukan oleh asing.

Keterlibatan investor asing sangat dominan, walaupun terdapat pembatasan untuk kepemilikan saham oleh investor asing. Sampai Agustus 1997, investor asing boleh memiliki maksimum hanya 49% dari total saham yang tercatat. Dan dalam rangka mengantisipasi pasar, pada tanggal 11 September 1997, Menteri Keuangan RI mengeluarkan Surat Keputusan No. 467/KMK010/1997 yang tertanggal 11 September 1997 dan Peraturan Bapepam No.S-2138/PM/1997 yang menyebutkan bahwa tidak ada lagi pembatasan untuk pembelian saham-saham yang tercatat di BEJ oleh investor asing, kecuali untuk saham perbankan, hanya di izinkan maksimum 49% dari modal disetor. Pada Mei 1999, Pemerintah Ri mengeluarkan peraturan baru (Peraturan No. 29/ 1999) yang menyebutkan bahwa pembelian saham bank tercatat (pembelian saham bank komersial) yang bukan merupakan implementasi dari Undang-Undang tersebut mengatur porsi kepemilikan investor asing, yaitu :

* Kepemilikan saham perbankan oleh investor asing dan atau institusi asing melalui penempatan langsung atau melalui bursa diizinkan maksimum hanya 99% dari total saham.
* Pembelian saham oeh investor asing atau institusi melalui bursa dapat mencapai 100% dari total saham tercatat di bursa
* Perbankan dapat mencatatkan saham mereka di bursa maksimum hanya 99% dari total saham.
* Sedikitnya 1% saham perbankan, yang tidak dicatatkan di bursa, harus dimiliki oleh WNI atau oleh perusahaan Indonesia.

Anggota Bursa

Sampai saat ini ada 142 perusahaan securitas yang menjadi anggota bursa di BEJ. Untuk memulai bertransaksi saham seorang investor harus membuka rekening di perusahaan securotas atau biasanya di sebut broker.

makalah ekonomi internasional

IMPLIKASI GLOBALISASI EKONOMI TERHADAP

PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN


PENDAHULUAN

Dekade 1990-an sering disebut-sebut sebagai awal dari era atau jaman globalisasi. Beberapa pakar mengartikan bahwa era globalisasi adalah era dimana berkat kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi yang semakin pesat dan canggih, orientasi pemikiran--kepentingan--maupun segala daya upaya manusia untuk mewujudkan pemikiran dan mencapai kepentingannya itu cakupannya meliputi kawasan yang semakin “mendunia” atau global.

Fenomena era globalisasi dewasa ini tidak saja mulai dirasakan, melainkan sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap bangsa dan negara. Proses interaksi dan saling pengaruh-mempengaruhi, bahkan pergesekan kepentingan antar bangsa terjadi dengan cepat dan mencakup masalah yang semakin kompleks. Batas-batas teritorial negara tidak lagi menjadi pembatas bagi upaya mengejar kepentingan masing-masing bangsa dan negara. Di bidang ekonomi terjadi persaingan yang semakin ketat, sementara itu terjadi pula perubahan atau perkembangan nilai maupun ukuran dalam aspek-aspek kehidupan manusia, baik di bidang sosial, ekonomi, politik dan keamanan.

Sudah barang tentu dampak era globalisasi ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi negara-negara berkembang, karena kekuatan ekonomi maupun penguasaan teknologi masih terbatas bila dibandingkan atau dihadapkan kepada kemampuan ekonomi dan teknologi negara-negara maju. Dalam kondisi yang demikian, faktor kualitas sumberdaya manusia dalam kaitannya dengan penguasaan teknologi dan manajemen, serta kejelian dan kepandaian memanfaatkan peluang dan mengatasi kendala merupakan faktor-faktor dominan bagi bangsa-bangsa didalam menjamin kepentingan nasionalnya masing-masing.

Dalam kaitan itu, sub sektor perikanan sebagai bagian integral dari tatanan perekonomian nasional harus mampu memanfaatkan setiap peluang dan mengatasi ancaman yang timbul dari era globalisasi. Hal ini sangat penting mengingat sekarang Sektor Kelautan dan Perikanan telah menjadi salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional.

GLOBALISASI EKONOMI DAN PERDAGANGAN BEBAS

Berbagai perkembangan perekonomian dunia yang terjadi dewasa ini telah mendorong perkembangan pasar, mengubah hubungan produksi, finansial, investasi dan perdagangan sehingga kegiatan ekonomi dan orientasi dunia usaha tidak terbatas pada lingkup nasional tetapi telah bersifat internasional atau global. Dampak dari padanya timbul perubahan dalam hubungan ekonomi dan perdagangan antar bangsa di dunia.

Issu mengenai globalisasi ekonomi semakin marak setelah disetujui dan ditandatanganinya kesepakatan GATT-Putaran Uruguay oleh 122 negara anggota di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994 (Marrakesh Meeting). Pada pertemuan tersebut disetujui pula perubahan nama GATT (General Agreement on Tariff and Trade) menjadi WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia/Internasional.

Tujuan utama dibentuknya GATT/WTO adalah : (1) liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia sehingga produksi meningkat; (2) memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hambatan perdagangan baik dalam bentuk hambatan tarif bea masuk (tariff barrier) maupun hambatan lainnya (non tariff barrier); (3) mengatur perdagangan jasa yang mencakup tentang Intellectual Property Rights dan investasi. Dengan meningkatnya produksi akan terjadi peningkatan investasi yang sekaligus akan menciptakan lapangan kerja dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Namun demikian, karena adanya kekhawatiran akan kegagalan perundingan GATT-Putaran Uruguay, padahal banyak negara yang sudah merasa semakin pentingnya perdagangan bebas antar negara, maka negara-negara yang berada pada suatu kawasan dengan kesamaan potensi dan kebutuhan maupun hubungan geografis dan tradisional terdorong untuk membentuk kelompok/kawasan perdagangan bebas (free trade area). Sehubungan dengan itu pada dekade 1990-an terbentuk beberapa kawasan perdagangan bebas seperti :

· AFTA (Asean Free Trade Area) yang mencakup negara-negara anggota ASEAN;

· NAFTA (North America Free Trade Area) yang mencakup Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko;

· APEC (Asia Pacific Economic Community) yang mencakup negara-negara di kawasan Asia Pasifik, dan

· Uni Eropa (European Union) yang mencakup negara-negara di kawasan Eropa Barat.

Dengan terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas tersebut maka untuk beberapa kawasan, liberalisasi perdagangan akan berlangsung lebih cepat dari yang dijadualkan oleh WTO yaitu mulai tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 untuk negara berkembang. Sementara itu, AFTA akan mulai diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Januari 2003 dan perdagangan bebas sesama negara anggota APEC direncanakan akan dimulai tahun 2005.

Sebagai bagian dari tatanan perekonomian dunia, Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka mau tidak mau harus ikut melaksanakan perdagangan bebas. Komitmen mengenai hal itu dimanifestasikan dalam bentuk keikutsertaan Indonesia dalam AFTA, APEC dan WTO.

HAMBATAN TEKNIS DALAM PERDAGANGAN HASIL PERIKANAN

Dengan berasumsi bahwa pada era perdagangan bebas masalah hambatan tarif (tariff barrier) secara bertahap akan dapat diatasi, perdagangan hasil perikanan nampaknya akan menghadapi permasalahan yang lebih berat yaitu hambatan non-tarif (non-tariff barrier). Hambatan tersebut dapat berupa hambatan teknis (technical barrier) maupun aspek sanitasi dan fitosanitasi (Sanitary and Phytosanitary).

Hambatan teknis yang telah dan akan banyak dipakai dalam perdagangan hasil perikanan terutama adalah masalah mutu, spesifikasi, standar serta issu lingkungan. Pada saat ini setiap negara cenderung menerapkan standar yang berlaku di negara masing-masing sebagai acuan dalam impor dan ekspor hasil perikanan. Akibatnya banyak timbul masalah penolakan/penahanan bahkan embargo terhadap ekspor hasil perikanan dari negara-negara berkembang ke negara industri maju. Sebagai contoh, terjadinya kasus penahanan dan penolakan terhadap udang Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa karena produk tersebut dianggap mengandung antibiotika chloramphenicol.

Disamping itu beberapa negara-negara industri maju juga menggunakan issu-issu lingkungan sebagai hambatan teknis dalam perdagangan hasil perikanan. Masalah dolphin issue misalnya telah menggoyahkan ekspor ikan tuna dari negara Amerika Latin dan Asia Tenggara pada tahun 1990-an. Bahkan akhir-akhir ini, Amerika Serikat memberlakukan ketentuan bahwa udang yang diekspor ke negara tersebut harus ditangkap dengan menggunakan alat tangkap yang dilengkapi TED (Turtle Excluder Devise), dengan alasan untuk melindungi populasi penyu. Hal ini berimplikasi bahwa setiap negara yang melakukan ekspor udang ke Amerika Serikat harus terlebih dahulu mendapatkan verifikasi dari Pemerintah Amerika Serikat bahwa alat tangkap udang yang digunakan memenuhi ketentuan tersebut.

Disamping masalah chloramphenicol, ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa juga mengalami berbagai hambatan teknis. Masalah dekomposisi (pembusukan), kotoran dan kontaminasi bakteri pathogen merupakan hambatan teknis yang paling banyak digunakan. Bahkan dengan terbentuknya Pasar Tunggal Eropa, Uni Eropa mengeluarkan ketentuan bahwa setiap negara yang akan mengekspor hasil perikanannya ke kawasan tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan pengakuan (Approval) sebagai negara pengekspor, demikian juga perusahaan produsennya. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut setiap negara/produsen harus menerapkan sistem manajemen mutu yang ekivalen dengan sistem yang diterapkan di Uni Eropa.

Jepang sebagai negara importir utama hasil perikanan Indonesia juga menerapkan hambatan teknis yang sangat ketat. Analisa kandungan histamin, merkuri dan senyawa-senyawa toksin lainnya serta parasit merupakan persyaratan yang diperlukan bagi ekspor ikan tuna ke Jepang. Disamping itu, semua hasil perikanan yang diekspor ke Jepang harus bebas dari bakteri Vibrio cholera.

Disamping hal tersebut diatas, sejalan dengan makin meningkatnya tuntutan konsumen terhadap jaminan mutu (quality assurance) produk hasil perikanan yang diperdagangkan di pasar internasional, dewasa ini sedang terjadi pergeseran dalam sistem inspeksi dan sertifikasi mutu produk perikanan. Sistem inspeksi dan sertifikasi terhadap mutu produk akhir (end-product inspection) sebagaimana yang diterapkan selama ini dianggap tidak mampu memberikan jaminan mutu yang tinggi kepada konsumen, sehingga konsumen menghendaki adanya perubahan dari sistem inspeksi dan sertifikasi produk akhir menjadi inspeksi dan sertifikasi sistem manajemen mutu.

Sistem manajemen mutu yang disepakati secara internasional untuk diterapkan pada industri perikanan adalah Program HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Program tersebut telah ditetapkan secara wajib (mandatory) untuk diterapkan pada industri perikanan di beberapa negara industri maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia dan Kanada.

STRATEGI DAN LANGKAH-LANGKAH OPERASIONAL PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN

Seperti diuraiakan di atas bahwa liberalisasi perdagangan sebagai fenomena globalisasi ekonomi sebenarnya mempunyai tujuan yang sangat luhur, yaitu untuk memperlancar dan meningkatkan arus perdagangan antar negara demi peningkatan kesejahteraan umat manusia. Namun demikian, pada kenyataannya dalam perdagangan hasil perikanan terlihat adanya kecenderungan negara-negara industri maju untuk menggunakan hambatan non tarif berupa hambatan teknis (technical barrier) maupun aspek sanitasi dan fitosanitasi sebagai hambatan terselubung (disguished restriction) demi kepentingan nasionalnya. Hal ini karena berdasarkan perjanjian GATT-Putaran Uruguay, setiap negara anggota WTO diperbolehkan untuk memberlakukan peraturan mengenai masalah teknis dan aspek sanitasi & fitosanitasi sepanjang untuk tujuan melindungi keselamatan dan kesehatan manusia, hewan maupun tanaman serta melindungi konsumen dari hal-hal yang merugikan.

Sementara itu, bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya diperkirakan akan sedikit atau kurang dapat memanfaatkan peluang-peluang yang ada dari globalisasi ekonomi ini. Bahkan dikhawatirkan bahwa tanpa adanya konsolidasi dan pembenahan-pembenahan, kelancaran ekspor hasil perikanan Indonesia justru akan terhambat dengan adanya perdagangan bebas. Dilain pihak, Indonesia dapat menjadi dumping ground dari membanjirnya produk-produk perikanan dari luar negeri karena peraturan mengenai masalah teknis dan sanitasi & fitosanitasi di Indonesia masih lemah serta pangsa pasar dalam negeri yang cukup besar. Kecenderungan ini sudah terlihat dari membanjirnya buah-buahan impor di pasar dalam negeri dan meningkatnya impor daging ternak.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa tujuan yang luhur dari liberalisasi perdagangan mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap pengembangan usaha perikanan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Oleh karena itu, dalam mengembangkan usaha perikanan harus memperhatikan 3 (tiga) persyaratan untuk memenangkan persaingan global, yaitu: (1) super efficient, (2) real quality, dan (3) mega marketing. Super efficient dimaksudkan bahwa proses produksi dan pemasaran produk perikanan harus dilakukan secara efisien, sehingga harga jual produk tersebut bisa lebih rendah dari yang ditawarkan oleh negara kompetitor. Untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi diperlukan penguasaan teknologi dan manajemen yang memadai pada sisi pelaku usaha, dan penerapan standar pelayanan prima pada sisi pemerintah.

Real quality dimaksudkan bahwa produk hasil perikanan harus betul-betul bermutu tinggi.. Untuk itu pembinaan dan pengawasan mutu harus ditangani secara lebih serius untuk mendapatkan mutu yang konsisten sesuai permintaan pasar. Sedangkan mega marketing dimaksudkan bahwa kita harus selalu melakukan market intelligence, untuk mempertahankan pasar yang sudah kita kuasai dan meningkatkan akses pasar yang lebih luas.

Strategi di atas dapat diimplementasikan melalui berbagai langkah operasional, antara lain :

a) Menerapkan kaidah-kaidah yang termuat dalam FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam pengelolaan sumberdaya ikan;

b) Restrukturisasi industri penangkapan ikan nasional dengan meningkatkan komposisi kapal-kapal besar yang berkemampuan jelajah tinggi, terutama untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan di perairan KTI dan ZEEI;

c) Mengembangkan komoditas unggulan yang mempunyai daya saing tinggi;

d) Mengembangkan prasarana perikanan terutama di KTI, seperti Pelabuhan Perikanan/ Pangkalan Pendaratan Ikan guna mendukung peningkatan pemanfaatan sumberdaya ikan di kawasan tersebut;

e) Meningkatkan kemampuan penetrasi pasar dan daya saing produk perikanan di pasar internasional melalui : peningkatan mutu produk, diversifikasi produk, diversifikasi pasar, penguasaan informasi pasar, peningkatan kegiatan promosi dan peningkatan akses pasar melalui Memorandum of Understanding (MOU)/Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan negara importir potensial.

f) Mengembangkan usaha perikanan yang berwawasan lingkungan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan hidup, serta untuk menangkal issu-issu lingkungan yang dituntut negara-negara mitra dagang;

g) Menerapkan Program HACCP secara konsisten pada seluruh tahapan produksi hasil perikanan, untuk memberikan jaminan mutu yang lebih tinggi kepada konsumen baik di dalam maupun di luar negeri.

PENUTUP

Dari uraian di atas terlihat bahwa globalisasi ekonomi mempunyai implikasi yang besar terhadap perdagangan hasil perikanan dunia dan pengembangan usaha perikanan di Indonesia.

Liberalisasi perdagangan sebagai fenomena globalisasi ekonomi sebenarnya mempunyai tujuan yang luhur, yaitu untuk memperlancar dan meningkatkan perdagangan dunia demi peningkatan kesejahteraan umat manusia. Namun demikian, liberalisasi perdagangan hasil perikanan diperkirakan tidak akan berjalan secara efektif, karena negara maju akan menggunakan hambatan teknis untuk mengfilter masuknya hasil perikanan dari luar negeri.

Disisi lain, negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang mempunyai peraturan teknis dan sanitari & fitosanitari relatif longgar diperkirakan akan kebanjiran produk impor dari negara maju. Oleh karena itu Indonesia perlu menerapkan strategi dan langkah-langkah operasional agar dapat bersaing di pasar global sekaligus membendung mengalirnya impor dari luar negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, M. Amin, 1993. Pasar Global Agroindustri – Prospek Pengembangan pada PJPT II.

Bangkit, Jakarta.

Asian Productivity Organization, 2002. Quality Control in Fish Processing. Asian

Productivity Organization, Tokyo, Japan.

Yamazawa, Ippei, 200. Developing Economies in The Twenty-First Century – The

Challenges of Globalization, Institute of Developing Economies, Japan External

Trade Organization, Chiba, Japan

menghadapi globalisasi

Menghadapi Globalisasi, Struktur Politik Ekonomi RI Harus Diperkuat

Sikap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menyetujui ditetapkannya putaran perundingan perdagangan baru dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-4 di Doha, Qatar, November lalu, bergeser dari sikap yang ditunjukkan semula.
Alfons Samosir, Wakil Direktur Ketahanan Perdagangan Internasional, Depperindag kepada SH mengatakan, Indonesia tidak menginginkan adanya suatu putaran perundingan baru, karena belum siap.

Penolakan itu bukan cuma dilakukan Indonesia, tetapi oleh hampir semua negara berkembang di WTO. Kesepakatan negara-negara berkembang itulah, kata sumber itu, yang merupakan penyebab dibalik gagalnya KTM WTO ke-3 di Seattle, AS.

Entah atas alasan apa, negara-negara berkembang berubah sikap dalam pertemuan Doha. Putaran perundingan baru diterima, meskipun sebagian isu masih akan dibahas lagi dalam KTM WTO ke-5 tahun 2003 mendatang.

Ada dua hal penting berkaitan dengan hasil kesepakatan pertemuan Doha. Pertama, makin jelas bahwa WTO yang semula didirikan sebagai organisasi yang mengatur perdagangan internasional, telah memperluas mandatnya hingga mengatur juga masalah-masalah di luar perdagangan, antara lain lingkungan hidup dan hak paten (TRIPS, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).

Pengaitan masalah-masalah yang sesungguhnya tidak termasuk dalam lingkup perdagangan (non-trade related issues) tersebut sebagai subyek perjanjian dalam WTO, secara otomatis berarti pula semakin luasnya pengaruh kesepakatan WTO bagi masyarakat negara-negara anggota, termasuk masyarakat Indonesia. Kedua, perlu dicermati, pengaruh seperti apa yang kita terima? Apakah kesepakatan itu -sesuai dengan tujuan perdagangan global - meningkatkan kemampuan ekonomi Indonesia? Ataukah sebaliknya ?

Sayangnya, pilihan kedualah yang kemudian menjadi realita. Bonny Setiawan, Sekretaris Nasional KOP-WTO (Koalisi Ornop Pemantau WTO) mengatakan implikasi putaran perundingan WTO sebagaimana disepakati dalam KTM Doha - baik masalah perdagangan mau pun masalah-masalah terkait (non-trade related issues), cenderung lebih menguntungkan negara maju, dan kurang memperhatikan kepentingan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Kesepakatan mengenai lingkungan hidup, misalnya, mengharuskan negara-negara berkembang mengikuti standar lingkungan tertentu agar bisa mengekspor produknya. Hal itu telah terjadi pada plywood dan log Indonesia, yang ekspornya kini terhalang ecolabelling.

Menyempitnya akses pasar kayu Indonesia akibat terhalang isu lingkungan itu diakui pula oleh seorang sumber SH dari Delegasi Uni Eropa yang tak bersedia disebutkan namanya.
Menurut dia, meskipun tidak secara formal dilarang oleh pemerintah, kebanyakan perusahaan-perusahaan Eropa enggan menerima kayu dari Indonesia akibat buruknya reputasi para pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Indonesia, yang seringkali tidak mengelola hutan secara lestari.

Demikian pula perundingan mengenai transparansi belanja pemerintah, yang masih akan dibicarakan lagi dalam KTM WTO ke-5 tahun 2003 mendatang. Jika hal tersebut disepakati untuk ditetapkan dalam bentuk perjanjian, pemerintah akan diwajibkan "membuka" APBN Indonesia dalam pertemuan WTO.

Lemah
Menilik begitu banyaknya kerugian yang akan diterima Indonesia akibat menerima putaran perundingan baru WTO tanpa kesiapan memadai itu, sikap pemerintah Indonesia yang justru menerima kesepakatan itu, menunjukkan betapa lemahnya posisi Indonesia dalam negosiasi WTO.

Ketidaksiapan Indonesia untuk menghadapi negosiasi perdagangan global, yang mengakibatkan Indonesia "terpaksa" menerima keinginan negara-negara maju dalam negosiasi WTO, antara lain disebabkan oleh lemahnya bargaining position Indonesia terhadap negara-negara maju, yang notabene adalah kreditor dan sekaligus pasar bagi produk Indonesia.

Demikian Hira Djamtani dari Institute for Global Justice, dalam lokakarya "Liberalisasi Perdagangan Lanjutan dalam Kerangka Multilateral : Kesiapan Pemerintah dan Pengusaha Pasca KTM IV WTO Doha" yang diselenggarakan di Jakarta (13/12).

Hira bahkan menuduh negara-negara maju telah menggunakan "cara-cara teroris secara terselubung", untuk meluluskan kepentingan ekonominya, misalnya dengan mengancam tidak akan memberikan bantuan lagi bagi negara berkembang, jika negara itu bersedia menerima usul yang dikemukakannya.

Sedangkan Alfons Samosir, Wakil Direktur Ketahanan Perdagangan Internasional - WTO Depperindag, pada saat ditanya mengapa negara-negara berkembang menunjukkan perubahan sikap, hanya mengatakan, "Ya.., biasalah. Negosiasi."

Lemahnya posisi tawar pula yang menyebabkan negara berkembang tidak bisa berbuat banyak untuk menuntut mekanisme pengambilan keputusan yang lebih demokratis dalam WTO, misalnya dengan menuntut penghapusan pola perundingan "ruang hijau" (perundingan informal yang tidak dapat dihadiri oleh semua anggota tetapi menghasilkan keputusan yang harus dipatuhi oleh semua anggota).

Tidak demokratisnya proses pengambilan keputusan di WTO itu juga disinggung oleh Hira Djamtani dalam loka karya tersebut. Menurutnya, WTO sebenarnya merupakan wadah "perjuangan" ekonomi" yang lebih baik dari pada forum uniletaral dan multilateral, karena didasarkan pada peraturan (rule-based). Karena itu, hal yang perlu dilakukan Indonesia kini adalah memperjuangkan agar peraturan itu adil bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.

Masalah Internal
Selain lemahnya bargaining position, ketidaksiapan Indonesia menerima perdagangan global juga disebabkan lemahnya struktur politik ekonomi Indonesia sendiri yang pada gilirannya melahirkan inefisiensi industri dan lemahnya daya saing produk Indonesia dalam pasar global. Tingginya berbagai biaya pungutan hingga mencapai 30 % dari biaya produksi, misalnya, membuat produk Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk luar. Dengan sendirinya, apabila perdagangan bebas benar-benar dilaksanakan, perindustrian Indonesia akan kalah bersaing dengan produk negara lain.

Djimanto, wakil Kadin dalam loka karya "Liberalisasi Perdagangan Lanjutan dalam Kerangka Multilateral : Kesiapan Pemerintah dan Pengusaha Pasca KTM IV WTO Doha" mengemukakan pandangan praktisi dunia usaha Indonesia dengan mengatakan, transparansi dan akuntabilitas yang diperlukan pengusaha untuk menjalankan usahanya, seringkali terdistorsi oleh berbagai kepentingan.
Mengingat dunia usaha yang sehat adalah faktor kunci dalam menghadapi perdagangan global, maka kurangnya transparansi dan akuntalibitas itu perlu dibenahi terlebih dahulu, agar siap menghadapi liberalisasi perdagangan.

Pandangan serupa dikemukakan oleh Stephen D. Mink, Koordinator Sektor Pembangunan Pedesaan (Sector Coordinator of Rural Development) kepada SH di sela-sela loka karya tersebut. Menurutnya, Indonesia bisa memanfaatkan peluang yang disediakan perdagangan bebas bagi peningkatan kemakmuran, jika dalam waktu yang masih tersedia sebelum kesepakatan WTO dijalankan sepenuhnya, Indonesia benar-benar bersedia mempersiapkan diri dan membenahi masalah-masalah internal yang selama ini telah menghancurkan ekonomi Indonesia, seperti korupsi. Tampaknya, jika Indonesia benar-benar ingin mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi, pemberantasan "penyakit lama" seperti korupsi, memang tak perlu ditunda lagi. ***


makalah sda

EKONOMIKA SDA PERIKANAN DEMERSIAL
EKONOMIKA SUMBER DAYA ALAM LINGKUNGAN
PERIKANAN DEMERSIAL
PENDAHULUAN
Sumberdaya ikan merupakan salah satu sumberdaya kelautan dan perikanan yang tergolong dalam sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), artinya jika sumberdaya ini dimanfaatkan sebagian, sisa ikan yang tertinggal mempunyai kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan berkembang baik.
Tinggi rendahnya kemampuan berkembang biak ini akan mempengaruhi ketersediaan atau stok sumberdaya ikan. Hal ini memberikan pedoman bahwa stok atau populasi sumberdaya ikan tidak boleh dimanfaatkan secara sembarangan tanpa memperhatikan struktur umur dan rasio kelamin dari populasi ikan yang tersedia. Apabila pemanfaatan secara sembarangan dilakukan, berakibat pada umur dan struktur populasi ikan yang tersisa mempunyai kemampuan memulihkan diri sangat rendah atau lambat, berarti sumberdaya ikan tersebut berada pada kondisi hampir punah.
Lebih lanjut Nikijuluw (2002), menyatakan bahwa ikan tetap bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Jenis-jenis ikan tertentu dapat berenang, berpindah, atau berimigrasi dari suatu perairan ke perairan lainnya, bahkan hingga melintasi samudera. Ikan-ikan lainnya, hanya bergerak di perairan tertentu secara cepat atau lambat. Namun dengan sifat ikan yang bergerak ini, upaya menduga atau memperkirakan jumlah ikan atau ukuran stok ikan menjadi pekerjaan yang relatif sulit. Implikasinya adalah, pengelolaan sumberdaya ikan menjadi tidak mudah untuk dilakukan.
Pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), seperti penggunaan bahan beracun, bom, pukat harimau, dan lain-lain serta tidak sesuai antara penggunaan peralatan penangkapan dengan wilayah penangkapan (fishing ground), dan lain-lain, selain akan merusak wilayah pemijahan dan sumber makanan dari sumberdaya ikan juga akan merusak ekosistem wilayah dimaksud.

PENGERTIAN
Menurut definisi Food and Agriculture Organization (FAO), ikan tidak hanya terbatas pada pengertian ikan yang selama ini dipahami orang awam, yaitu ikan (finfish) yang bersirip dan bersisik dan dapat berenang dengan bebas di air. Definisi FAO mengenai ikan adalah organisme laut yag terdiri dari ikan (finfish), binatang berkulit keras (krustasea) seperti udang dan kepiting, moluska seperti cumi dan gurita, binatang air lainnya seperti penyu dan paus, rumput laut, serta lamun laut. Definisi ini telah diadopsi sebagai definisi ikan dalam konteks perikanan di Indonesia (Nikijuluw, 2002).
Ikan Demersal adalah ikan yang umumnya hidup di daerah dekat dasar perairan, ikan demersal umumnya berenang tidak berkelompok (soliter). Sumberdaya ikan demersal terbagi dua berdasarkan ukuran yaitu Ikan Demersal Besar seperti kelompok kerapu (Grouper) dan kakap (Snaper). Ikan demersal ekonomis penting yang paling umum antara lain adalah kakap merah, bawal putih, manyung, kuniran, gulamah, layur dan peperek. Secara ekologis udang merupakan sumber daya demersal. Karena posisinya sebagai komoditas ekspor perikanan yang penting upaya pengkajian stoknya biasanya dilakukan secara terpisah.
Berbagai jenis ikan demersal biasanya ditangkap dengan alat tangkap yang dioperasikan di dasar perairan seperti ; trawl, rawai dasar, jaring insang dasar, jarring klitik/trammel dan bubu. Pengelompokkan jenis ikan sebenarnya lebih bersifat subyektif karena pemisahan jenis secara tajam sangat sulit dilakukan. Sebagai patokan umum yang lebih bersifat implikatif tentang kelompok ikan bisa dilihat dari alat tangkapnya.

EKOSISTEM DAN SUMBERDAYA UTAMA PESISIR DAN LAUT
Ditinjau dari sudut ekologis, wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif. Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir dan laut yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: (1) estuaria; (2) hutan mangrove; (3) padang lamun; (4) terumbu karang; (5) pantai (berbatu dan berpasir); dan (6) pulau-pulau kecil.

Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Bengen, 2002; Pritchard, 1976).
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi (Supriharyono, 2000a), antara lain:
(1) Tempat bertemunya arus air dengan arus pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan cirri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya;
(2) Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut;
(3) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya; dan
(4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.
Estuaria dapat dikelompokkan atas empat tipe, berdasarkan karakteristik geomorfologinya (Bengen, 2002), sebagai berikut:
(1) Estuaria daratan pesisir, paling umum dijumpai, dimana pembentukannya terjadi akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian pantai yang landai;
(2) Laguna (Gobah) atau teluk semi tertutup, terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletak sejajar dengan garis pantai sehingga menghalangi interaksi langsung dan terbuka dengan perairan laut;
(3) Fjords, merupakan estuaria yang dalam, terbentuk oleh aktivitas glesier yang mengakibatkan tergenangnya lembah es oleh air laut;
(4) Estuaria tektonik, terbentuk akibat aktivitas tektonik (gempa bumi atau letusan gunung berapi) yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah yang kemudian digenangi oleh air laut pada sat pasang.
Variasi salinitas di daerah estuaria menentukan kehidupan organisme laut/payau. Hewan-hewan yang hidup di perairan payau (salinitas 0,5 - 30¡ë), hipersaline (salinitas 40 - 80¡ë), atau air garam (salinitas > 80¡ë), biasanya mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas yang lebih besar dibandingkan dengan organisme yang hidup di air laut atau air tawar (Supriharyono, 2000). Organisme yang dapat tahan terhadap konsentrasi garam mulai dari air berkristal dalam kondisi kehidupan latent (benih, spora, cysta), dan mulai dari air destilata sampai salinitas hampir mencapai 300¡ë dalam kondisi kehidupan yang aktif (Ruinen, dalam Supriharyono, 2000a).
Terdapat beberapa spesies yang dapat bertahan hidup pada salinitas di atas 200¡ë seperti brine shrimp, Artemia salina dan larva dipteran, Ephydra (Remane dan Schlieper dalam Kinne, 1964). Pada estuaria Laguna Madre, terdapat paling sedikit 25 spesies hewan yang tahan pada salinitas sekitar 75 - 80¡ë. Beberapa diantara spesies tersebut seperti Nemopsis bacheri, Acartia tonsa, Balanus eburneus, dan beberapa jenis ikan juga dijumpai pada salinitas serendah 15 ¡ë (Hedgpeth, 1967).
Hewan-hewan yang toleran pada kisaran salinitas yang luas disebut euryhaline, sedangkan yang toleran pada kisaran salinitas yang sempit disebut stenohaline (Kinne, 1964). Pengaruh salinitas terhadap organisme dapat terjadi melalui perubahan-perubahan total osmocon-sentration, relatif proporsi kandungan garam, koefisien absorpsi dan saturation gas-gas terlarut, densitas dan viskositas, dan kemungkinan juga melalui absorpsi radiasi, transmisi suara, dan konduktivitas listrik (Kinne, 1967).
Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin akan flora.
Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktivitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus.
Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria merupakan produksi bersih dari detritus ini. Fauna di estuaria, seperti ikan, kepiting, kerang, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan yang kompleks (Bengen, 2002).


Ekosistem mangrove atau hutan bakau termasuk ekosistem pantai atau komunitas bahari dangkal yang sangat menarik, yang terdapat pada perairan tropik dan subtropik. Penelitian mengenai hutan mangrove lebih banyak dilakukan daripada ekosistem pantai lainnya. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya karena mempunyai vegetasi yang agak seragam, serta mempunyai tajuk yang rata, tidak mempunyai lapisan tajuk dengan bentukan yang khas, dan selalu hijau (Irwan, 1992).

Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra-pasut dari pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuaria yang didominasi oleh halofita, yakni tumbuh-tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi, yang berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran, bersama-sama dengan populasi tumbuh-tumbuhan dan hewan (Remimohtarto dan Juwana, 2001).

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat.

Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai yang terlindung (Bengen, 2001, 2002). Ekosistem mangrove terdiri dari dua bagian, bagian daratan dan bagian perairan. Bagian perairan juga terdiri dari dua bagian yakni tawar dan laut. Ekosistem mangrove terkenal sangat produktif, dan penuh sumberdaya, dan ekosistem ini mendapat subsidi energi karena arus pasut banyak membantu dalam menyebarkan zat-zat hara.
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus), yang termasuk ke delapan famili. Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas (Bengen, 2002)
Walaupun produktivitas mangrove tinggi, namun menurut Heald dalam Supriharyono (2000a) dari total produksi daun tersebut hanya 5% yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan terrestrial pemakannya, sedangkan sisanya sekitar 95% masuk ke lingkungan perairan sebagai debris dari seresah atau gugur daun. Karena itulah hutan mangrove mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Hutan mangrove dimanfaatkan untuk usaha budidaya ikan, kerang, hijau, dan kepiting; yang biasanya dilakukan dengan sistem keramba (Supriharyono, 2000a).

Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove, memungkinkan sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursey ground), dan pembesaran atau mencari makan (feeding ground) dari beberapa ikan atau hewan air tertentu (Bengen, 2001, 2002; Supriharyono, 2000; Irwan, 1992). Sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan-hewan air, seperti kepiting, moluska, dan invertebrata lainnya, yang hidupnya menetap di kawasan hutan. Namun di antaranya hewan-hewan air tertentu seperti ikan dan udang-udangan, yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama arus pasang-surut.
Produksi udang di Thailand setiasp tahunnya (1974 ¨C 1980) sekitar 6% berasal dari tambak, 22% hasil penangkapan skala kecil (terutama produksi mangrove), dan 72% dari hasil tangkapan skala besar (yang juga masih bergantung pada mangrove). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara produksi udang dengan banyaknya mangrove. Produksi udang akan turun dengan turunnya area hutan mangrove. Di daerah semananjung sebelah barat dengan tutupan mangrove 96% menghasilkan sekitar 2 ¨C4 kalinya produksi ¡°ikan¡± (termasuk udang dan kerang-kerangan), dibandingkan dengan produksi di Semenanjung Malaysia sebelah timur yang hampir tidak ada mangrovenya (Supriharyono, 2000a).


Terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa kelas Seleterctinia, yang termasuk hermatypic coral atau jenis-jenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (CaCO3) (Vaughen, dalam Supriharyono, 2000b). Struktur bangunan batu kapur (CaCO3) tersebut cukup kuat, sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut, sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup di sini disamping selectrctinian corals, adalah algae yang juga banyak mangandung kapur (Dawes, 1981).
Berkaitan dengan terumbu karang di sini dibedakan antara binatang karang (reef corals) sebagai individu organisme atau komponen masyarakat, dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem, termasuk di dalamnya organisme-organisme karang.
Terdapat dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan yang tidak membentuk bangunan karang (ahermatypic corals). Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang dari kalsium karbonat, sehingga sering dikenal pula sebagai reef-building corals. Sedangkan ahermatypic corals adalah binatang karang yang tidak dapat membentuk bangunan karang (Bengen, 2002; Supriharyono, 2000b).
Perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu. Adapun faktor-faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah: (1) suhu air > 180C, tetapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23 ¨C 25oC, dengan suhu yang maksimal yang dapat ditolerir berkisar antara 36 ¨C 40oC; (2) kedalaman perairan > 50 meter, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada ¡Ü 25 meter; (3) salinitas air yang konstan antara 30 - 36¡ë; dan (4) perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen (Bengen, 2001, 2002).
Pada daerah terumbu karang, ikan karang merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan juga merupakan organisme besar yang mencolok. Dengan jumlahnya yang besar dan mengisi terumbu karang, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa ikan karang penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken, 1988). Keberadaan ikan-ikan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup (Hutomo, 1986).
Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota, sebagai berikut: (1) beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang), terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut); (2) beraneka ragam ikan: 50 ¨C 70% ikan kornivora oportunik, 15% ikan herbivora, dan sisanya omnivora; (3) reptil, umumnya ular laut dan penyu laut; dan (4) ganggang dan rumput laut, yaitu: algae hijau berkapur, algae karolin dan lamun (Bengen, 2002).
Beberapa kelompok ikan yang paling paling sering terlihat di terumbu karang, adalah: (1) Subordo Labroide, famili: Labrides (ikan cina-cina), Scaridae (ikan kakak tua), Pomacentridae (ikan betook); (2) Subordo Acanthuroidei, famili: Acanthuridae (butana/surgeon fish), Siganidae (beronang), dan Zanclidae (Moorish idol); (3) Subordo Chaetodontoidei, famili: Chaetodontidae (kepe-kepe/butterfly fish), Pomacantidae (kambing-kambing/angel fish); (4) Famili Blennidae dan gobiidae yang bersifat demersal dan menetap; (5) Famili Apogonidae (ikan beseng), nocturnal, memangsa avertebrata terumbu dan ikan kecil; (6) Famili Ostraciidae, Tetraodontidae, dan Balestide (ikan pakol) yang menyolok dalam bentuk dan warnanya; dan (7) pemangsa dan pemakan ikan (Piscivorous) yang besar jumlahnya dan bernilai ekonomis tinggi, meliputi famili: Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Lethrinidae (lencam), dan Holocentridae (suanggi).
Ikan karang terbagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) ikan target yaitu ikan-ikan yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi seperti Famili Serranide, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) kelompok jenis indikator yaitu ikan yang digunakan sebagai indikator bagi kondisi kesehatan terumbu karang di suatu perairan seperti Famili Chaetodontidae; dan (3) kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan, karena peran lainnya belum diketahui seperti Famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae (Adrim, 1993).
Banyak ikan yang mempunyai daerah hidup di terumbu karang dan jarang dari ikan-ikan tersebut keluar daerahnya untuk mencari makanan dan tempat perlindungan. Batas wilayah ikan tersebut didasarkan pada pasokan makananan, keberadaan predator, daerah tempat hidup, dan daerah pemijahan.
Hal ini yang menyebabkan hubungan ikan karang semakin kompleks (White, 1987; McConnel, 1987). Kebanyakan ikan yang tergolong herbivora adalah ikan-ikan yang aktif pada siang hari (diurnal), berwarna cemerlang dengan mulut yang kecil. Beberapa jenis umumnya membentuk kelompok ketat dan cepat bergerak (Mc Connaughey dan Zottoli, 1983).
Interkasi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) intekasi langsung sebagai tempat berlindung dari predator pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda; (2) interkasi dalam mencari makanan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk algae; dan (3) interkasi tidak langsung sebagai akibat struktur karang dan kondisi hidrologis dan sedimen (Coat dan Bellwood, dalam Bawole, 1998).
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (dioecious) (Mann, 2000). Lebih lanjut Mann (2000), lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 ¨C 12 meter dengan sirkulasi air yang baik.
Secara ekologi padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu: (1) produsen detritus dan zat hara; (2) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (3) sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; dan (4) sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari (Bengen, 2002)

Ekosistem Pantai
Ekosistem pantai terletak antara garis air surut terendah dan air pasang tertinggi. Ekosistem ini berkisar dari daerah di mana ditemukan substrat berbatu dan berkerikil (yang mendukung sejumlah terbatas flora dan fauna sesil) hingga daerah berpasir aktif (dimana ditemukan populasi bakteri, protozoa, metazoa) dan daerah berpasir bersubstrat liat dan Lumpur (di mana ditemukan sejumlah besar komunitas infauna) (Bengen, 2002).
Pantai berbatu merupakan satu dari lingkungan pesisir dan laut yang cukup subur. Kombinasi substrat keras untuk penempelan, seringnya aksi gelombang, dan perairan yang jernih menciptakan suatu habitat yang menguntungkan bagi biota laut. Pantai berbatu menjadi habitat bagi berbagai jenis moluska (kerang), binatang laut, kepiting, anemon, dan juga ganggang laut (Bengen, 2001, 2002)
Lebih lanjut Bengen (2002), menyatakan kombinasi ukuran partikel yang berbeda dan variasi faktor lingkungan menciptakan suatu kisaran habitat pantai berpasir. Reoksigenasi dan suplai nutrient ke dalam pasir bervariasi berdasarkan porositas, aksi gelombang, dan tinggi muka pasir. Profil vertikal bergradasi dari aerobik (pasir berwarna kekuning-kuningan) ke lapisan kurang aerobik (pasir berwarna kelabu) hingga lapisan anaerobic (pasiir berwarna hitam) (Gambar 8 dan Gambar 9).
Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun kadang-kadang dijumpai populasi diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir seluruh materi organic diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel (POM). Konsumsi materi organik sebagian besar oleh bakteri, jarang sekali oleh herbivora atau detritivora. Kelimpahan bakteri secara proporsional berbanding terbalik dengan ukuran sedimen. Peran utama dari bakteri adalah dekomposisi materi organik.

Ekosistem Pulau-Pulau Kecil
Pulau-pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Banyak pulau-pulau kecil yang mempunyai luas area kurang dari 2.000 km2 dan lebarnya kurang dari 3 km, pulau-pulau ini diklasifikasikan sebagai pulau sangat kecil.
Pulau atau kepulauan yang terdapat di dunia dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe, berdasarkan pada proses geologinya (Bengen, 2002), yaitu: (1) pulau benua (continental island), yaitu terbentuk sebagai bagian dari Benua, dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Tipe batuan dari pulau Benua adalah batuan yang kaya akan silica. Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama; (2) pulau vulkanik (volcanic island), pulau yang terbentuk dari kegiatan gunung berapi yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan; (3) pulau karang timbul (raised coral island), yaitu pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas dan gerakan ke bawah; (4) pulau daratan rendah (low island); dan (5) pulau atol (atrolls).

BIOLOGI, HABITAT DAN SEBARAN IKAN LAYUR SERTA BEBERAPA ASPEK PERIKANANNYA

Ikan layur adalah salah satu jenis ikan demersal ekonomis penting yang banyak tersebar dan tertangkap di perairan Indonesia. Dewasa ini paling tidak terdapat tiga jenis ikan layur, yaitu Eupluerogrammus muticus, Trichiurus lepturus dan Lepturacanthus savala. Perairan dengan dasar yang relatif rata dan berlumpur dengan salinitas yang relatif rendah biasanya merupakan habitat ikan layur. Dari beberapa pengamatan tentang sebaran ikan layur di pantai selatan Jawa diperoleh informasi bahwa ikan layur di Teluk Pelabuhan Ratu-Binuangeun dan Cilacap umpamanya, tertangkap pada perairan pantai di sekitar muara-muara sungai yang relatif dangkal.

Secara umum trend dari catch, effort dan CPUE periode 1992-2000 baik untuk perikanan layur baik di perairan pantai selatan Jawa Timur ataupun selatan Jawa menunjukkan sedikit naik. Jika dilihat secara terpilah-pilah tampak bahwa untuk periode 1998-2000 trend indikator perikanan layur di selatan Jawa Timur mengikuti pola umum perikanan yang dieksploitasi, dimana naiknya total effort diikuti naiknya catch sedangkan CPUE terlihat menurun. Keadaan yang sama terjadi terhadap perikanan layur di selatan Jawa, yaitu antara periode 1997-2000.

Seberapa jauh penurunan CPUE tersebut masih dapat ditolerir antara lain akan tergantung kepada kelayakan usaha perikanan layur pada tingkat tersebut. Jadi, pada tingkat CPUE berapa, usaha perikanan layur tersebut masih dapat menguntungkan. Puncak musim penangkapan di perairan selatan Jawa terjadi menjelang akhir tahun sampai awal tahun berikutnya. Ikan layur mecapai matang gonad pada umur dua tahun dan umur maksimum dapat mencapai 15 tahun.


IKAN LAYUR DAN KOMUNITAS DEMERSAL
Jenis-jenis ikan demersal di perairan Paparan Sunda yang pernah tercatat adalah sekitar 50 famili yang terdiri dari sekitar 250 spesies, sehingga perikanan demersal di wilayah tropis bersifat multispecies. Ikan layur merupakan salah satu kelompok (species group) dalam komunitas sumber daya demersal. Dengan demikian keberadaan populasi ikan layur akan terlibat dalam proses-proses dinamika dalam komunitas ikan demersal, seperti interaksi biologis antar jenis. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah antar hubungan pemangsaan (predator-prey relationship) dan persaingan makanan (food competetion).

Salah satu perilaku ikan layur adalah ‘voracious’ atau sangat ‘rakus’, sehingga dalam suatu komunitas tertentu ikan layur dapat merupakan ‘top predator’ yang memperebutkan makanannya berupa ikan-ikan berukuran kecil dengan ikan-ikan predator lainnya.

Data sumberdaya ikan layur yang dianalisis merupakan sebagian hasil penelitian yang dilakukan di perairan selatan Jawa, Samudera Hindia (Badrudin, 2003). Data dan informasi tentang aspek-aspek biologi (life history dan dinamika populasi) ikan layur dikumpulkan melalui kajian literatur dan Fish Base dari FAO-ICLARM. Data catch dan effort dikumpulkan dari Statitik Perikanan Indonesia (Anonimous, 1994 - 1999) dan Statistik

Perikanan Tangkap Indonesia (Anonimus, 2000-2003). Analisis yang dilakukan, disiapkan untuk aplikasi model produksi surplus yang mengarah kepada teridentifikasinya trend dari indeks kelimpahan stok sumberdaya ikan layur antara tahun 1992-2000. Analisis lebih lanjut dapat mengarah kepada diperolehnya dugaan hasil tangkapan maksimum yang berkelanjutan (MSY, the maximum sustainable yield) mengikuti prosedur Sparre and Venema (1992).

Secara taxonomi ikan layur termasuk ke dalam famili Trichiuridae. Dalam famili Trichiuridae terdapat sekitar 10 genera, yaitu Diplospinus, Aphanopus, Benthodesmus, Lepidopus, Epoxymetopon, Assurger, Tentoreiceps, Eupluerogrammus, Trichiurus dan Lepturacanthus. Yang disebut ikan layur yang tertangkap di perairan Indonesia, paling tidak tercatat tiga genera, yaitu Eupluerogrammus, Trichiurus dan Lepturacanthus, dengan species-speciesnya adalah Eupluerogrammus muticus, Trichiurus lepturus dan Lepturacanthus savala. Dalam beberapa literatur, ketiga genera tersebut dimasukkan ke dalam satu genus yaitu Trichiurus, dengan spesiesnya adalah T. muticus, T. savala dan T. lepturus atau T. haumela (FAO, 1974).
Perbedaan spesies tersebut didasarkan atas perbedaan taxonomis seperti diameter mata terhadap panjang kepala, sirip dada (pectoral), sirip perut (pelvic) dan sirip dubur sebagaimana disajikan pada tabel berikut.
Secara visual perbedaan antara satu spesies dengan spesies lainnya hampirhampir tidak tampak. Ciri utama dari kelompok ikan layur antara lain adalah: Badanya sangat memanjang dan pipih seperti pita. Oleh karena itu dalam beberapa literatur internasional ikan layur disebut sebagai ‘ribbon fish’. Gigi rahangnya sangat kuat dan bagian depan gigi rahang tersebut membentuk taring. Sirip punggung memanjang, mulai dari belakang kepala sampai mendekati ujung ekor.

Pada bagian depan sirip punggung terdapat jari-jari sirip keras. Kadang-kadang antara kedua sirip punggung yang keras dan sirip lemah terdapat notch yang sangat jelas. Warna badannya pada umumnya adalah keperakan, bagian punggungnya agak sedikit gelap.
Panjang badan maksimum dapat mencapai 2,5 m dan pada umumnya antara 60-110 cm.

Kebiasaan makan dan makanan (food and feeding habit) merupakan salah satu aspek ‘life history’ yang menjadi dasar dalam kajian interaksi antar jenis, baik melalui kajian antar hubungan pemangsaan (predator prey relationship) ataupun persaingan makanan (food competition).

Melihat morfologi kepala, mulut dan gigi-gigi ikan layur tidak diragukan lagi bahwa ikan layur adalah ikan predator yang kebiasaan makanannya adalah hewanhewan berkuran lebih kecil. Jenis-jenis makanan ikan layur meliputi euphausid (udang-udang berukuran kecil seperti rebon, larva udang penaeid), ikan-ikan berukuran kecil (seperti; teri, sardin, myctophids, bregmacerotids, carangoids, sphyraenids, atherinids, sciaenids, scombrids, larva/yuwana ikan layur ) dan cumicumi berukuran kecil.

Perilaku kebiasaan makan ikan layur dewasa dan layur anakannya (yuwana, juvenile) berhubungan erat dengan kebiasaan migrasi vertikal (diurnal – siang; nocturnal - malam) mempunyai sifat yang berlawanan. Pada siang hari layur dewasa biasanya bermigrasi vertikal ke dekat permukaan untuk mencari makan dan kembali bermigrasi ke dasar perairan pada malam hari. Ikan layur anakannya yang berukuran kecil akan membentuk gerombolan (schooling) mulai dari dasar sampai ke dekat permukaan pada siang hari dan pada malam hari menyebar dan mengelompok untuk mencari makan sampai ke dekat permukaan.

Hasil kajian kebiasaan makanan dan interaksi antar jenis ikan dapat merupakan salah satu dasar bagi pengelolaan sumberdaya ikan layur sebagai salah satu unsure dalam komunitas demersal yang bersifat multispecies. Ecopath sebagai salah satu model stock assessment yang dirancang untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimal dan berlanjut dalam jangka panjang didasarkan atas kajian interaksi antar jenis. Dalam rangka mengetahui pengaruh-pengaruh penangkapan, opsi-opsi langkah pengelolaanpun dapat di-uji-cobakan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Jones (1982) bahwa melalui kajian aspek kebiasaan makanan tersebut dapat diprediksi bahwa dalam perkembangan / pertumbuhan ikan pada umumnya, akan memerlukan makanan (berupa ikan lainnya) sekitar 25% dari berat tubuhnya (Jones, 1982). Implikasi dari kajian tersebut antara lain adalah bahwa jika diketahui produksi ikan layur yang didaratkan di pantai selatan Jawa Timur umpamanya 1000 ton pertahun, maka ikan layur tersebut akan memerlukan makanan berupa ikan lainnya sebanyak 250 ton.


Hubungan Panjang - Berat
Manfaat dari informasi tentang hubungan panjang-berat antara lain adalah bahwa melalui persamaan matematik tersebut ( W = a * L b ) kita dapat memperkirakan berat ikan layur pada panjang tertentu atau sebaliknya. Nilai b dalam hubungan panjang-berat ikan layur berada antara 2-4 . Jika nilai b = 3 disebut isometrik, dan jika b ? 3 disebut allometrik. Kecuali ikan layur dari perairan Indonesia dimana nilai b = 2,969 (yang secara statistik b = 3) tampak bahwa kemungkinan besar pertumbuhan ikan layur yang ada di berbagai belahan dunia lainnya lebih bersifat allometrik positif dimana nilai b > 3 (Tabel 1).
Dilihat dari aspek aplikasi model analitik, besarnya nilai isometrik atau allometrik tersebut akan menentukan jenis model pengkajian stok yang dapat diterapkan yang mengarah kepada diperolehnya hasil tangkapan maksimum yang berkelanjutan. Selajutnya perlu diinformasikan bahwa ukuran berat maksimum yang pernah tercatat adalah 3,69 kg dengan panjang 234 cm. Ikan tersebut tertangkap dengan pancing di Teluk Guanabara, Rio de Janeiro, Brazil yang kemudian dianggap sebagai ‘angling world record’ (Fishbase, 2002)


KESIMPULAN
Negara Indonesia merupakan Negara maritime yang sepertiga bagiannya adalah wilayah perairan, jadi potensi kelautan yang belum dioptimalkan masih sangat sangat banyak. Sumberdaya kelautan yang yang paling sering diperhitungkan adalah sumberdaya perikanan.

Perikanan dan sumberdaya perairan lainnya tidak lepas dari ekosistemnya. Ekosistem air ada berbagai macam yang semuanya itu perlu dilestarikan. Kebijakan – kebijakan dari pemerintah dan regulasinya sangat dibutuhkan untuk melindungi ekosistem perarian dan spesies didalamnya. Eksploitasi yang sembarangan akan menyebabkan terganggunya siklus kehidupan spesies yang nantinya akan berdampak buruk bagi perekonomian masyarakat yang memanfaatkan spesies perairan itu sendiri.

Perikanan di Indonesia terdapat berbagai jenis, diantaranya adalah perikanan demersal. Perikanan demersal adalah ikan yang umumnya hidup di daerah dekat dasar perairan, ikan demersal umumnya berenang tidak berkelompok (soliter). Sumberdaya ikan demersal terbagi dua berdasarkan ukuran yaitu Ikan Demersal Besar seperti kelompok kerapu (Grouper) dan kakap (Snaper). Ikan demersal ekonomis penting yang paling umum antara lain adalah kakap merah, bawal putih, manyung, kuniran, gulamah, layur dan peperek.

Ikan demersal ekonomis seperti layur mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Walaupun tidak seperti kakap yang mahal, tetapi ikan layur cukup banyak dijumpai di tempat – tempat pelelangan ikan maupun di pasar – pasar tradisional. Secara umum trend dari catch, effort dan CPUE periode 1992-2000 baik untuk perikanan layur baik di perairan pantai selatan Jawa Timur ataupun selatan Jawa menunjukkan sedikit naik.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Departemen Kelautan dan Peikanan merupakan institusi yang bertanggung jawab langsung pada kebijakan pengelolaan dan pembangunan perikanan tangkap Indonesia dan dapat memberi kontribusi pada solusi pembangunan ekonomi bidang kelautan dan perikanan nasional di masa datang.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang dilakukan melalui kegiatan perikanan tangkap oleh masyarakat perikanan dan kelautan, dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) apabila didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan.


DAFTAR PUSTAKA
WWW.ANARIDLE.BLOGSPOT.COM