Selasa, 13 Mei 2008

menghadapi globalisasi

Menghadapi Globalisasi, Struktur Politik Ekonomi RI Harus Diperkuat

Sikap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menyetujui ditetapkannya putaran perundingan perdagangan baru dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-4 di Doha, Qatar, November lalu, bergeser dari sikap yang ditunjukkan semula.
Alfons Samosir, Wakil Direktur Ketahanan Perdagangan Internasional, Depperindag kepada SH mengatakan, Indonesia tidak menginginkan adanya suatu putaran perundingan baru, karena belum siap.

Penolakan itu bukan cuma dilakukan Indonesia, tetapi oleh hampir semua negara berkembang di WTO. Kesepakatan negara-negara berkembang itulah, kata sumber itu, yang merupakan penyebab dibalik gagalnya KTM WTO ke-3 di Seattle, AS.

Entah atas alasan apa, negara-negara berkembang berubah sikap dalam pertemuan Doha. Putaran perundingan baru diterima, meskipun sebagian isu masih akan dibahas lagi dalam KTM WTO ke-5 tahun 2003 mendatang.

Ada dua hal penting berkaitan dengan hasil kesepakatan pertemuan Doha. Pertama, makin jelas bahwa WTO yang semula didirikan sebagai organisasi yang mengatur perdagangan internasional, telah memperluas mandatnya hingga mengatur juga masalah-masalah di luar perdagangan, antara lain lingkungan hidup dan hak paten (TRIPS, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).

Pengaitan masalah-masalah yang sesungguhnya tidak termasuk dalam lingkup perdagangan (non-trade related issues) tersebut sebagai subyek perjanjian dalam WTO, secara otomatis berarti pula semakin luasnya pengaruh kesepakatan WTO bagi masyarakat negara-negara anggota, termasuk masyarakat Indonesia. Kedua, perlu dicermati, pengaruh seperti apa yang kita terima? Apakah kesepakatan itu -sesuai dengan tujuan perdagangan global - meningkatkan kemampuan ekonomi Indonesia? Ataukah sebaliknya ?

Sayangnya, pilihan kedualah yang kemudian menjadi realita. Bonny Setiawan, Sekretaris Nasional KOP-WTO (Koalisi Ornop Pemantau WTO) mengatakan implikasi putaran perundingan WTO sebagaimana disepakati dalam KTM Doha - baik masalah perdagangan mau pun masalah-masalah terkait (non-trade related issues), cenderung lebih menguntungkan negara maju, dan kurang memperhatikan kepentingan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Kesepakatan mengenai lingkungan hidup, misalnya, mengharuskan negara-negara berkembang mengikuti standar lingkungan tertentu agar bisa mengekspor produknya. Hal itu telah terjadi pada plywood dan log Indonesia, yang ekspornya kini terhalang ecolabelling.

Menyempitnya akses pasar kayu Indonesia akibat terhalang isu lingkungan itu diakui pula oleh seorang sumber SH dari Delegasi Uni Eropa yang tak bersedia disebutkan namanya.
Menurut dia, meskipun tidak secara formal dilarang oleh pemerintah, kebanyakan perusahaan-perusahaan Eropa enggan menerima kayu dari Indonesia akibat buruknya reputasi para pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Indonesia, yang seringkali tidak mengelola hutan secara lestari.

Demikian pula perundingan mengenai transparansi belanja pemerintah, yang masih akan dibicarakan lagi dalam KTM WTO ke-5 tahun 2003 mendatang. Jika hal tersebut disepakati untuk ditetapkan dalam bentuk perjanjian, pemerintah akan diwajibkan "membuka" APBN Indonesia dalam pertemuan WTO.

Lemah
Menilik begitu banyaknya kerugian yang akan diterima Indonesia akibat menerima putaran perundingan baru WTO tanpa kesiapan memadai itu, sikap pemerintah Indonesia yang justru menerima kesepakatan itu, menunjukkan betapa lemahnya posisi Indonesia dalam negosiasi WTO.

Ketidaksiapan Indonesia untuk menghadapi negosiasi perdagangan global, yang mengakibatkan Indonesia "terpaksa" menerima keinginan negara-negara maju dalam negosiasi WTO, antara lain disebabkan oleh lemahnya bargaining position Indonesia terhadap negara-negara maju, yang notabene adalah kreditor dan sekaligus pasar bagi produk Indonesia.

Demikian Hira Djamtani dari Institute for Global Justice, dalam lokakarya "Liberalisasi Perdagangan Lanjutan dalam Kerangka Multilateral : Kesiapan Pemerintah dan Pengusaha Pasca KTM IV WTO Doha" yang diselenggarakan di Jakarta (13/12).

Hira bahkan menuduh negara-negara maju telah menggunakan "cara-cara teroris secara terselubung", untuk meluluskan kepentingan ekonominya, misalnya dengan mengancam tidak akan memberikan bantuan lagi bagi negara berkembang, jika negara itu bersedia menerima usul yang dikemukakannya.

Sedangkan Alfons Samosir, Wakil Direktur Ketahanan Perdagangan Internasional - WTO Depperindag, pada saat ditanya mengapa negara-negara berkembang menunjukkan perubahan sikap, hanya mengatakan, "Ya.., biasalah. Negosiasi."

Lemahnya posisi tawar pula yang menyebabkan negara berkembang tidak bisa berbuat banyak untuk menuntut mekanisme pengambilan keputusan yang lebih demokratis dalam WTO, misalnya dengan menuntut penghapusan pola perundingan "ruang hijau" (perundingan informal yang tidak dapat dihadiri oleh semua anggota tetapi menghasilkan keputusan yang harus dipatuhi oleh semua anggota).

Tidak demokratisnya proses pengambilan keputusan di WTO itu juga disinggung oleh Hira Djamtani dalam loka karya tersebut. Menurutnya, WTO sebenarnya merupakan wadah "perjuangan" ekonomi" yang lebih baik dari pada forum uniletaral dan multilateral, karena didasarkan pada peraturan (rule-based). Karena itu, hal yang perlu dilakukan Indonesia kini adalah memperjuangkan agar peraturan itu adil bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.

Masalah Internal
Selain lemahnya bargaining position, ketidaksiapan Indonesia menerima perdagangan global juga disebabkan lemahnya struktur politik ekonomi Indonesia sendiri yang pada gilirannya melahirkan inefisiensi industri dan lemahnya daya saing produk Indonesia dalam pasar global. Tingginya berbagai biaya pungutan hingga mencapai 30 % dari biaya produksi, misalnya, membuat produk Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk luar. Dengan sendirinya, apabila perdagangan bebas benar-benar dilaksanakan, perindustrian Indonesia akan kalah bersaing dengan produk negara lain.

Djimanto, wakil Kadin dalam loka karya "Liberalisasi Perdagangan Lanjutan dalam Kerangka Multilateral : Kesiapan Pemerintah dan Pengusaha Pasca KTM IV WTO Doha" mengemukakan pandangan praktisi dunia usaha Indonesia dengan mengatakan, transparansi dan akuntabilitas yang diperlukan pengusaha untuk menjalankan usahanya, seringkali terdistorsi oleh berbagai kepentingan.
Mengingat dunia usaha yang sehat adalah faktor kunci dalam menghadapi perdagangan global, maka kurangnya transparansi dan akuntalibitas itu perlu dibenahi terlebih dahulu, agar siap menghadapi liberalisasi perdagangan.

Pandangan serupa dikemukakan oleh Stephen D. Mink, Koordinator Sektor Pembangunan Pedesaan (Sector Coordinator of Rural Development) kepada SH di sela-sela loka karya tersebut. Menurutnya, Indonesia bisa memanfaatkan peluang yang disediakan perdagangan bebas bagi peningkatan kemakmuran, jika dalam waktu yang masih tersedia sebelum kesepakatan WTO dijalankan sepenuhnya, Indonesia benar-benar bersedia mempersiapkan diri dan membenahi masalah-masalah internal yang selama ini telah menghancurkan ekonomi Indonesia, seperti korupsi. Tampaknya, jika Indonesia benar-benar ingin mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi, pemberantasan "penyakit lama" seperti korupsi, memang tak perlu ditunda lagi. ***


Tidak ada komentar: